To
love is to share,
What
you have, what you are.
(St. Ignasius Loyola)
Di bagian selatan kota London, berdiri megah Universitas
Goldsmith dengan ribuan mahasiswanya yang berasal dari berbagai negeri. Dalam permainan monopoli ala Inggris, harga
properti paling murah adalah di Old Kent Street yang berjarak amat dekat dari
Universitas Goldsmith. Hanya sekitar 10
menit jalan kaki. Dalam kenyataannya,
wilayah ini memang tidak termasuk
wilayah mahal sebagaimana Mayfair atau Oxford Street. Banyak migran asal Nigeria tinggal di lokasi
ini.
Tiga orang suster FCJ bekerja paruh waktu di kampus ministri
Universitas Goldsmith.
Salah satu
aktivitas sosial di kampus ministri
adalah soup-run. Soup-run adalah kegiatan membagi sup
kepada mereka yang memerlukan, tepatnya kepada orang-orang jalanan. Mereka biasanya duduk meminta sedekah di
emper pertokoan atau di sepanjang jembatan.
Soup-run di Universitas
Goldsmith diadakan tiap hari Selasa, pukul 17.00-18.00. Dua kelompok mahasiswa (bisanya terdiri atas
dua atau tiga orang per kelompok),
keliling membawa termos sup dan menawarkannya kepada orang-orang jalanan
di sekitar kampus. Maksud dari kegiatan
ini adalah agar mahasiswa terhubung dengan realitas sosial di sekitar
kampus.
Menjadi orang jalanan di negara tropis seperti Indonesia,
jauh lebih mudah dibanding dengan orang jalanan di negara dengan empat
musim. Mereka bisa tidur di mana saja
dan tidak harus berperang melawan cuaca dingin.
Di negara empat musim, situasinya amat berbeda. Pada musim gugur seperti saat ini, pk. 17.00
berarti hari sudah gelap. Beberapa hari yang lalu bahkan suhu mencapai 3
derajat celcius pada sore hari. Kondisi
ini akan makin parah jika hujan juga turun.
Pada musim dingin konon banyak orang jalanan yang meninggal karena kedinginan. Makanan atau minuman hangat amat membantu
untuk menghangatkan badan. Kepada
orang-orang jalanan yang duduk di di emperan toko dalam cuaca seperti itulah,
sup panas ditawarkan. Ada yang menerima
namun ada pula yang menolak.
Senja itu, ketika kami sedang menawarkan sup kepada seorang
perempuan yang duduk di ujung jembatan, tiba-tiba muncul lelaki gagah usia 40
an, memarahi kami. Inti dari
kemarahannya adalah bahwa tidak ada faedahnya memberi sup pada orang
jalanan. Perempuan tersebut, sebagaimana
orang-orang jalanan lainnya, tidak
membutuhkan sup melainkan uang, tempat tinggal dan pekerjaan. Ia juga mengatakan bahwa memberi sup sama
dengan menghina martabat manusia.
Terhadap intervensi tersebut kami
menjawab bahwa hanya ini yang kami punya dan bisa kami bagikan dan lebih baik
berbuat sesuatu meski sederhana dari pada tidak sama sekali. “Memangnya
apa yang telah Anda lakukan terhadap mereka?” tanyaku. Itu membuatnya terdiam.
Diam dan meratapi keadaan tidak akan merubah apa pun. Soup-run
adalah sarana untuk menyapa mereka yang duduk menanti sedekah, yang biasanya sama
sekali tidak ditengok oleh orang-orang yang lalu lalang. Secangkir sup memang tidak akan mengubah
situasi mereka namun marilah kita belajar dari St. Fransiskus Asisi yang mengatakan
“Mulailah dengan melakukan hal-hal yang perlu, kemudian lakukan hal-hal
yang mungkin untuk dilakukan, dan segera kamu akan menyadari bahwa kamu sedang melakukan
hal-hal yang tidak mungkin.”
“Tuhan, bilamanakah
kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang
atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau?”
“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang
tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak
melakukannya juga untuk Aku.”
Yesus mengajarkan bahwa tindakan kasih sekecil apa pun yang
kita berikan pada orang lain, kita lakukan untukNya. St. Ignasius Loyola juga mengajarkan bahwa
kasih hendaknya lebih diwujudkan dalam tindakan dari pada dalam kata-kata. Hal tersebut memberi nilai lebih pada soup-run yang kami lakukan. Itu adalah tindakan kasih yang menghangatkan
tubuh dan jiwa orang lain. Meski hanya
sejenak.
Inez FCJ
New Cross, November 2015